Qodari memaparkan masalah survei itu di hadapan pengurus DPDPDIP Jatim dan DPC PDIP Surabaya.
Usai pertemuan, Qodari menyatakan bahwa fenomena calon tunggal harus menjadi perhatian serius pemerintah. "Ada aturan yang menurut saya salah kaprah dalam Pilkada serentak kali ini," kata Qodari, Jumat (7/8/2015).
Dalam sejarah Pilkada di Indonesia, Qodari mencatat ada 550 kali Pilkada. Dari ratusan kali pesta demokrasi itu, tercatat hanya tiga kali ditemukan calon tunggal.
Yakni saat Pilgub Gorontalo Fadel Muhammad, kemudian Wali Kota Yogyakarta Heri Subianto dan Bupati Sampang. "Lha ini baru 269 daerah sudah ada belasan calon tunggal di daerah sebelum "dicarikan solusinya", kata Qodari.
Kenapa demikian, menurutnya karena ada aturan salah kaprah yang dibuat pemerintah. Ini yang membuat situasinya berbeda dengan tahun lalu. "Yang paling parah salah kaprahnya adalah aturan yang mewajibkan anggota DPR dan DPRD yang maju harus mundur dari wakil rakyat," tanda Qodari.
Bupati, wali kota, anggota dewan adalah jabatan politik. Sangat aneh jika anggota dewan saat mengejar jabatan politik itu diminta mundur. Padahal untuk bisa sampai di kursi dewan tidak mudah dan tidak murah. Maju belum tentu jadi, tapi mudur dari dewan sudah pasti.
Akibatnya, semua kader partai akan mikir berkali-kali jika ingin maju dalam Pilkada. Apalagi yang dihadapi adalah incumbent.
"Pilkada sekarang berbeda 180 derajat dibandingkan Pilkada sebelumnya. Kampanye kini juga dikendalikan KPUD," katanya. .
Qodari memberi gambaran bahwa pertarungan melawan incumbent itu seperti lomba adu cepat mobil. Dengan rute sepang 100 KM, incumbent sudah sampai KM 70. Kondisi ini diperparah dengan aturan kampanye yang dibatasi hanya oleh KPU.
"Ingat, Pilkada itu ada calon yang kuat ada yang lemah. Ada yang dikenal ada yang tak dikenal. Bagaimana mau lawan incumbent dengan modal kampanye yang sama," katanya. Sayang, Qodari tak menyebut solusi karena langsung menuju mobilnya.
sumber : tribun