![]() |
Siapa sebenarnya Sabdapalon dan nayagenggong? |
Om Swastiastu,
Menguak ramalan-ramalan yang terjadi pada akhir masa-masa kerajaan
Majapahit memang menarik untuk kita lakukan. Ramalan-ramalan yang paling
populer adalah tentang kemunculan *sabdapalon* kembali dan tegaknya
ajaran *siwa-budha* di bumi nusantara.
Siapa sebenarnya Sabdapalon dan nayagenggong?
Sabdapalon adalah pandita dan penasehat Brawijaya V, penguasa terakhir
yang beragama Hindu dari kerajaan Majapahit di Jawa (memerintah tahun
1453 – 1478 )
Tidak diketahui apakah tokoh ini benar-benar ada, namun namanya
disebut-sebut dalam Serat Darmagandhul, suatu tembang macapat
kesusastraan Jawa Baru berbahasa Jawa ngoko. Dalam Serat tersebut,
disebutkan bahwa Sabdapalon tidak bisa menerima sewaktu Brawijaya
digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari
Walisongo (walaupun pada umumnya dalam sumber-sumber sejarah dinyatakan
bahwa Brawijaya digulingkan oleh Girindrawardhana).
Ia lalu bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, saat korupsi
merajalela dan bencana melanda, untuk menyapu Islam dari Jawa dan
mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Hindu (dalam Darmagandhul,
agama orang Jawa disebut agama Buda). Serat Damarwulan dan Serat
Blambangan juga mengisahkan tokoh ini.
Pada tahun 1978, Gunung Semeru meletus dan membuat sebagian orang
percaya atas ramalan Sabdapalon tersebut. Tokoh Sabdapalon dihormati di
kalangan revivalis Hindu di Jawa serta di kalangan aliran tertentu
penghayat kejawen. Patung untuk menghormatinya dapat dijumpai di Candi
Ceto, Jawa Tengah. Sabdapalon seringkali dikaitkan dengan satu tokoh
lain, Nayagenggong, sesama penasehat Brawijaya V. Sebenarnya tidak jelas
apakah kedua tokoh ini orang yang sama atau berbeda. Ada yang
berpendapat bahwa keduanya merupakan penggambaran dua pribadi yang
berbeda pada satu tokoh. Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong”
adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha).
Menariknya kata-kata ”Sabdo Palon Noyo Genggong” tidak hanya dapat
ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait
terakhir ramalan Joyoboyo ( 1135 – 1157 ) juga telah disebut-sebut,
yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara
Indra sbb :
Mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake
jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko
proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda;
landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon
lan Noyogenggong.
Artinya :
menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali;
mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah
perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada
trisula weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur;
didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong.
Nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah
kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya
iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang;
genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang;
hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering
kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
Artinya :
Menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat
bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah
rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja;
itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman
penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh
rasa hormat yang tinggi.
Serat Dharmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan
kearifan dan toleransi yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa
yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen
terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain
dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan
leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Darmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan
penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo
Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari
dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk
meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk
memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan
Majapahit.
Namun hal ini bisa *dicegah* oleh *Sunan Kalijaga* dan akhirnya *Prabu
Brawijaya masuk agama Islam*. Karena Sabdo Palon *tidak bersedia* masuk
agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum
perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :
Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên
manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi
langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang
mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên
pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula,
ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya
kula,
Artinya :
Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan
jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya
asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya
mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang
kuat), tidak senang mengasuh paduka. Kalau paduka tidak percaya, yang
disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya itu saya, yang membuat kawah
air panas di atas gunung itu semua adalah saya
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini
telah diungkapkan Joyoboyo pada *bait 173* yang berbunyi :
hiya iku momongane kaki Sabdopalon sing wis adu wirang nanging kondhang
Artinya :
Itulah asuhannya Sabdopalon yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur.
Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya
yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai "*Manik
Maya*" atau hakekat "*Semar*".
Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang
ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi
jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang.
Artinya :
Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya
kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ,
hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud,
membuatnya samar.
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon *menegaskan* bahwa dirinyalah
yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa
pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat
dijelaskan bahwa *Semar adalah* merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng
Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia
selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling
serta berjalan pada jalan kebaikan.
Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi.
Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk
menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada
umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu, "Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa
tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit
saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan
Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong
pikukuh lajêr Jawi, dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3
taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun"
Artinya :
Sabdo Palon berkata sedih, "Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga
tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari
leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang
Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan
raja-raja Jawa, sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3
tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya"
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi
Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari
berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun
2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya
perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita,
walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam karya-karya leluhur
sangat toleransif sifatnya.
Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini
berupa "*suara tanpa rupa*". Namun secara khusus bagi yang memahami
lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah "*mencolo
putro, mencolo putri*", artinya dapat mewujud dan *menyamar sebagai
manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa*. Namun dalam
perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai
sosok "*Begawan atau Pandhita*". Hal ini dapat dipahami karena dalam
kawruh Jawa dikenal adanya konsep "*menitis*" dan "*Cokro Manggilingan*".
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami
bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual (ponokawan) Prabu
Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam
ungkapannya dikatakan :
Paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda
têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat,
Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging
kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.
Artinya :
Apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya
kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya
pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan
hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng
selamanya.
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang
selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah
berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar
ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan
piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia
fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti.
Jadi Semar merupakan pamomong yang "Tut wuri handayani", menjadi tempat
bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki
sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge
winarah). Semua yang *disabdakan* Semar tidak pernah berupa "p*erintah
untuk melakukan*" tetapi lebih kepada "*bagaimana sebaiknya melakukan*".
Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada
”majikan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki *110 nama*,
diantaranya adalah *Ki Sabdopalon*, *Sang Hyang Ismoyo*, K*i Bodronoyo*,
dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo
Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah
Sabdo Palon *menyatakan kekecewaannya* dengan sabda-sabda yang
*mengandung prediksi tentang sosok masa depan* yang diharapkannya.
Berikut ungkapan-ungkapan itu :
Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha,
turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên
nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi
ingkang mangrêti
Artinya :
Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan
agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang
memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya),
Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan
dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.
Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng
tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan
arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.
Artinya :
Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa
menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah
yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan
Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang
Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada
saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama
*sepuh/tua* (bisa jadi ”mbah”, ”aki”, ataupun ”eyang”) yang memegang
teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan
kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya
dalam waktu berjalan.
Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon
tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin
yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat
Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih
lanjut diceritakan :
Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong,
nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak
waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga, "Ing besuk
nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr
Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene
samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang".
Artinya :
"Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong,
namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung
kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Gantilah nama Blambangan
menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon
di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih
berkelana di tanah seberang"
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya
*berpisah* di tempat yang sekarang bernama *Banyuwangi*. Tanah seberang
yang dimaksud adalah *Pulau Bali*.
Ramalan Sadbapalon
Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita
kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam
naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :
Sabda Palon matur sugal, "Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama
Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong
marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jumeneng Tanah Jawi,
Wus pinasthi sayekti kula pisahan".
Artinya :
Sabda Palon menjawab kasar: "Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu,
sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya
ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah
digaris kita harus berpisah".
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang
agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
Artinya :
Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang
Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan
mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar
seluruh tanah Jawa.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu
kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur
atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi
yen wus njeblug mili lahar.
Artinya :
Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi
makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila
belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya
kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan
laharnya.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika
medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng
jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten
kenging kalamunta kaowahan.
Artinya :
Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah
pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda
(Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi
takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila
diubah lagi.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi,
Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
Artinya :
Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon
Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di
tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya
menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring
gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing
sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki
yekti ana kang akarya.
Artinya :
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah
kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada
ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini
ada yang membuatnya.
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon
menyatakan *berpisah* dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya.
Perlu kita tahu bahwa *Semar* adalah wujud manusia biasa *titisan* dewa
Sang Hyang Ismoyo.
Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya
adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang
Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama *500 tahun*,* *kemudian Sabdo Palon
menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran
nusantara) dengan tanda-tanda tertentu.
Diungkapkannya tanda utama itu adalah *muntahnya lahar gunung Merapi ke
arah barat daya*. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti
bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam
dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: "*Semar
Ngejawantah*".
Mari kita telaah sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi
tahun 2006 lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat
statusnya menjadi *yang tertinggi* menjadi "*Awas Merapi*".
Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah "*Barat
Daya*". Pada hari itu tanggal *13 Mei 2006* adalah malam *bulan purnama*
bertepatan dengan *Hari Raya Waisyak (Budha)* dan *Hari Raya Kuningan
(Hindu)*.
Secara hakekat nama ”Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan
yang menyatu, yaitu : *Hindu – Budha (Syiwa Budha).*
Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat.
Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2
+ 0 + 0 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 dikenal merupakan angka
keramat. 17 merupakan jumlah r*aka’at sholat lima waktu* di dalam
syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari ”bumi sap pitu”
dan "langit sap pitu".
Sedangkan angka 8 merupakan *lambang delapan penjuru mata angin*. Di
Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan *Kahyangan
Jagad*. Pura kahyangan jagat mengacu pada *arah 8 mata angin* tersebut,
antara lain :
* *Pura Lempuyang*, atau lazim disebut Pura Lempuyang Luhur adalah
tempat memuja Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam
perwujudannya sebagai *Iswara*. Pura ini terletak di ujung *Timur*
pulau Bali,di puncak Bukit Bisbis,wilayah kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem, Bali.
* *Pura Andakasa*, adalah tempat memuja Tuhan dalam perwujudannya
sebagai *Brahma*. Terletak disebelah *Selatan* pulau Bali,yaitu di
Bukit Andakasa,kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.
* *Pura Batukaru*, adalah tempat memuja Tuhan dalam perwujudannya
sebagai *Mahadewa*, terletak disebelah *Barat* pulau Bali. Yaitu di
Gunung Batukaru,kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali.
* *Pura Batur*, pura yang juga mempunyai fungsi sebagai Pura Hulun
Danu, tempat memuja Tuhan dalam perwujudannya sebagai *Wisnu*.
Terletak disebelah *Utara* pulau Bali, yaitu di Desa Batur,
Cecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Sedangkan Pura Hulun Danu
terletak diwilayah Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli, Bali.
* *Pura Gowa Lawah*, adalah tempat memuja Tuhan dalam perwujudannya
sebagai *Maheswara*. Terletak di *Tenggara* pulau Bali, yaitu
diwilayah Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali.
* Pura *Uluwatu*, tempat memuja Tuhan dalam perwujudannya sebagai
*Rudra*. Terletak di *Barat Daya* pulau Bali, yaitu diwilayah
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
* *Pura Pangelengan*, pura yang lazim disebut juga sebagai *Pura
Gunung Mangu*, adalah tempat memuja Tuhan dalam perwujudannya
sebagai *Sangkara*. Terletak di *Barat Laut* pulau Bali, yaitu di
Gunung Mangu, perbatasan Kabupaten Buleleng dengan Kabupaten Tabanan.
* *Pura Besakih*, adalah tempat memuja Tuhan dalam perwujudannya
sebagai *Sambu*. Terletak di *Timur laut* pulau Bali, tepatnya di
Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali.
Disamping sebagai kahyangan tempat memuja Sambu,Pura Besakih juga
merupakan Kahyangan atau Pura Pusat dari semua Pura atau Kahyangan
Agung atau Kahyangan Jagat di Bali.
Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut
dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi.
Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati
oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat
tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).
Siapa Sejatinya "Sabdo Palon Noyo Genggong" ?
Setelah kita membaca dan memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat
leluhur Nusantara yang ada, maka saya akan mengulas sesuai dengan
pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo Genggong itu.
Dari penuturan bapak *Budi Marhaen*, saya mendapatkan jawaban, "Sabdo
Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan
pandhita sakti ker*ajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual,
Sabdo Palon itu sejatinya adalah : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/
Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru* yang akhirnya *moksa* di *Pura
Uluwatu*".
Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari
Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang
Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum
”Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha
yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu
Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Beliau juga dikenal
sebagai seorang sastrawan.
Dalam "Dwijendra Tattwa" dikisahkan sebagai berikut :
"Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang
Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas
pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui
ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi
masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama
Hindu dengan nama ”Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut ”Tuan Semeru”
atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur."
Dengan kemampuan supranatural dan mata batinnya, beliau melihat
benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak
melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan
kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang
ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit
(salah satunya adalah bencana alam ”Pagunung Anyar”). Akhirnya beliau
mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah
kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang
Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke
Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun
caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali
perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang
Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai
kemampuan supranatural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum
sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan
diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti
yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig
Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan
kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong
penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan
lontar, kidung atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim
membimbing umat adalah :
* Pura Purancak
* Pura Rambut siwi
* Pura Pakendungan
* Pura Uluwatu
* Pura Bukit Gong
* Pura Bukit Payung
* Pura Sakenan
* Pura Air Jeruk
* Pura Tugu
* Pura Tengkulak
* Pura Gowa Lawah
* Pura Ponjok Batu
* Pura Suranadi (Lombok)
* Pura Pangajengan
* Pura Masceti
* Pura Peti Tenget
* Pura Amertasari
* Pura Melanting
* Pura Pulaki
* Pura Bukcabe
* Pura Dalem Gandamayu
* Pura Pucak Tedung
* Dan lain-lain.
Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (*moksa*) di Pura Uluwatu.
(Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa,
meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).
Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang
Nirartha, lalu bapak Budi Marhaen memberikan kepada saya 10 (sepuluh)
pesan yang diperoleh dari kegaiban dari beliau Dang Hyang Nirartha
sebagai berikut :
*Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya,
kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin
yadnyane satus, baan suputra satunggal.*
Artinya :
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun
telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang
melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah
oleh anak baik seorang.
*Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring
kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka,
guru prabhu, guru tapak tui timpalnya.*
Artinya :
Ayahanda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan
durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang
disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar)
itu.
*Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong
kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise
twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak.*
Artinya :
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan
ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik
hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak
akan menginjak kotoran.
*Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe
buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin
ane patut, da jua ulah malihat.*
Artinya :
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah
laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat,
memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
*Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose
melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya
mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya.*
Artinaya :
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar
kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal
didengarkan.
*Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua
agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de
mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang.*
Artinya :
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah
caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk
berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya
diucapkan.
*Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute
bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa
mangulah laku, katanjung bena nahanang.*
Artinya :
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu
mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki,
hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan
(menderita) nya.
*Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang
awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi
manandur, joh pare twara mupuang.*
Artinya :
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan
henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata
cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak
akan berhasil.
*Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan,
masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah
tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah.*
Artinya :
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud
hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak,
pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
*Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire
kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak,
kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya.*
Artinya :
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku
yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai
masyarakat, kemanapun dibawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
Kesimpulan
Akhirnya bapak Budi Marhaen mengungkapkan bahwa dengan penelusuran
secara spiritual dapatlah disimpulkan :
Jadi yang dikatakan "*Putra Betara Indra*" oleh Joyoboyo, "*Budak
Angon*" oleh Prabu Siliwangi, dan "*Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu*"
oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah *Sabdo Palon*,
yang sejatinya adalah *Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti
Wawu Rawuh/ Tuan Semeru*.
Pertanyaannya sekarang adalah:
Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah nampak
dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang? Tentu saja sangat tidak etis
untuk menjawab secara vulgar persoalan ini. Sangat sensitif. Karena ini
adalah wilayah para kasepuhan suci, karena hanya mereka yang memiliki
spiritual tinggi yang dapat menjawabnya.
Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang telah
menitis kepada "seseorang" itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh)
satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga
memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo.
Secara fisik "seseorang" itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka
*Pengayom Nusantara* hasil karya beliau *Dang Hyang Nirartha*, yaitu :
* Pusaka Oumyang Majapahit (lambang Daya Atman) dan
* Pusaka Sabdo Palon (Ki Rancak – lambang Daya Rohul Kudus).
Pusaka tersebut merupakan kata sandi (password) berkaitan dengan hakekat
keberadaan Pura Rambut Siwi sebagai pembuktiannya.
Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio
Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para
leluhur nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat
nusantara selama ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO
PININGIT”. Banyak pendapat yang berkembang di masyarakat luas selama ini
dalam memandang dan memahami isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya
tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing
orang.
Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah
bangsa ini memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan
rahasia bumi dan langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran.
Keberadaannya gaib namun nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum
tentu mampu menembus aura misterinya.
Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu
akan sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang
hatinya bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf
hidup) sepanjang hidupnya.
Hakekat Satrio Piningit menurut pandangan bapak Budi Marhaen adalah
sosok seorang "Guru Sejati". Sosok guru yang *TIDAK* menyebarkan "ajaran
ataupun agama baru" namun *MENEBAR KASIH* ke atas seluruh umat tanpa
membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama atau kepercayaan.
Sehingga kembali dalam konteks "Satrio Piningit" yang sejatinya adalah
Sabdo Palon, terdapat suatu misteri kata sandi yang harus dipecahkan,
yaitu :
Di balik SP (Satrio Piningit) terdapat *10 SP*. Dalam konteks ini bapak
Budi Marhaen mengungkapkan rahasia sandi tersebut (mbabar wadi)
berdasarkan f*enomena spiritual yang ditemuinya* berkaitan dengan
sandi-sandi rahasia di dalam karya warisan leluhur nusantara : Jadi,
Satrio Piningit (SP) adalah :
Seorang Satrio Pinandhito (SP)
yang sejatinya adalah Sabdo Palon (SP)
berlaku sebagai Sang Pamomong (SP)
dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP)
pemegang pusaka Sabdo Palon (SP)
berada di Semarang Pinggiran (SP)
tepatnya di daerah Semarang Podorejo (SP)
dimana terdapat Sendang Pancuran (SP)
dengan nama Sendang Pengasihan (SP)
dan Sendang Panguripan (SP)
Inilah beberapa hal yang telah diungkapkan oleh bapak Budi Marhaen
berkaitan dengan misteri "Semarang Tembayat" yang tertulis di dalam
Serat Musarar Joyoboyo. Dibukanya misteri ini berkaitan dengan Sarasehan
Spiritual : Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, di Semarang pada
tanggal 20 Desember 2007 yang telah mencanangkan topik : ”REVOLUSI AKBAR
SPIRITUAL NUSANTARA”. Telah tiba saatnya Misteri Nusantara terkuak.
Semoga artikel-artikel yang kami rangkum diatas dapat memberikan
gambaran bagaimana nusantara dahulu dan kedepannya, semoga bermanfaat.
Salam Rahayu.
Om Santih, Santih, Santih Om.
Mr. Brain Revolution______________
Dikutip dari pelbagai sumber