SINGARAJA - Kejadian gempa
bumi bagi krama Bali diyakini sebagai pertanda alam. Keyakinan itu
tertuang dalam berbagai lontar. Khusus untuk gempa berkekuatan 6,4 SR
yang mengguncang Bali, Rabu (22/3) pagi pukul 07.15 Wita,diyakini
membawa dampak kurang baik, termasuk ancaman kekeringan. Pasalnya, gempa
terjadi saat sasih Kasanga (bulan kesembilan sistem penanggalan Bali).
Analisa
ini diungkapkan I Gusti Bagus Sudiasta, penekun lontar asal Desa
Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng saat ditemui di Museum
Lontar Gedong Kirtya Singaraja, Rabu kemarin. I Gusti Bagus Sudiasta
menyebutkan, kejadian gempa sebagai pertanda alam dituangkan dalam
sejumlah lontar.
Menurut
Sudiasta, dari lontar-lontar yang pernah dibacanya di Gedong Kirtya
Singaraja, ada 7 lontar menyebut gempa bumi sebagai pertada alam. Lontar
tersebut masing-masing Roga Sangara, Roga Sangara Bumi/Widisastra,
Ronga Sangara Bumi, Roga Sangara Bumi (Pamarisudhaning), Lebur Sangsa,
dan Lontar Papalindon. Dalam lontar-lontar itu, gempa disebutkan sebagai
linu.
“Mungkin
masih banyak lontar-lontar yang menerangkan kejadian linu. Tidak semua
linu membawa dampak buruk, ada pula linu yang terjadi pada sasih-sasih
tertentu membawa dampak yang baik. Tapi, linu pada sasih Kasanga ini
membawa dampak kurang baik menurut lontar yang ada,” terang I Gusti
Bagus Sudiasta yang telah mempelajari lontar sejak tahun 1974, ketika
ditugaskan sebagai pegawai Museum Lontar Gedong Kirtya Singaraja.
Khusus
gempa 6,4 SR pada Buda Umanis Julungwangi, Sasih Kesanga, Rabu kemarin,
sesuai Lontar Lebur Sangsa, kejadian merupakan Payogan Batara Wasana.
Maka, akan terjadi panas menyentak, tanaman tidak bisa tumbuh, dan ada
kekacauan. Hal serupa juga tertuang dalam Lontar Palalindon, yang
menyebut ‘Kasanga tekaning lindu, udan api kajarnya’ (kejadian gempa
bumi bertepatan dengan sasih Kasanga, maka akan muncul badai panas,
Red). ”Dari dua lontar itu saja, bisa kita tangkap, kejadian gempa pada
sasih Kasanga seperti ini pertanda buruk, karena munculnya hawa panas
hingga tanaman tidak bisa tumbuh,” jelas Sudiasta.
Dampak
buruk dari pertanda alam yang disampaikan oleh kejadian gempa bumi pada
sasih Kasanga, kata Sudiasta, bisa dihindari dengan upacara tertentu,
berupa upacara Caru Selamatan. Pelaksanaan ritual itu disebutkan dalam
Lontar Roga Sangara Bumi (Pamarisudhaning).
Menurut
Sudiasta, Lontar Roga Sangara Bumi juga menyebut dampak buruk gempa
bumi yang terjadi pada sasih Kasanga. Secara garis besar, Lontar Roga
Sangara Bumi berisi tentang sebab-sebab malapetaka/bencana terjadi di
dunia, kemudian jenis-jenis malapetaka/bencana yang dapat terjadi di
dunia, dan beberapa ciri akan datangnya malapetaka/bencana.
Upacara
yang mesti dilaksanakan, kata Sudiasta, dengan menghaturkan banten suci
berisi olahan ulam bawi (daging babi) selengkapnya, yang dihaturkan di
Ulun Setra Ageng (Pura Prajapati). Bisa juga dilaksanakan
persembahyangan bersama di Pura Bale Agung dan Pura Puseh, untuk mohon
agar dijauhkan dari malapetaka.
“Dalam
Lontar Roga Sangara yang ditulis berdasar petunjuk dari San Hhyang
Suwamandala, maka manusia melaksanakan upacara banten suci selengkapnya,
mohon dijauhkan dari malapetak,” terang Sudiasta.
Sementara
itu, Dosen Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar, Dr I Gede Sutarya MAg,
menyatakan gempa bumi merupakan peristiwa alam yang biasa terjadi.
Dilihat dari sisi ajaran agama Hindu, berdasarkan cerita Adi Parwa,
disebutkan terjadinya gempa membuktikan bahwa bumi terus berproses
menuju perbaikan.
Menurut
Gede Sutarya, ini sama seperti halnya cerita tentang pemutaran Gunung
Mandara Giri saat pertarungan antara Dewa vs Raksasa dalam mendapatkan
Tirta Amerta. "Pemutaran Gunung Mandara Giri menggunakan seekor naga,
yang kemudian menghasilkan Tirta Amerta sebagai lambang hidup abadi. Di
dunia nyata, proses ini jalan terus menerus. Bahwa dalam proses
perbaikan dunia, terjadilah gempa. Ini peristiwa alam biasa," jelas
Sutarya saat dikonfirmasi secara terpisah di Denpasar, Rabu
kemarin.
Sutarya
menyebutkan, gempa merupakan bagian dari proses penciptaan alam semesta
(uttpeti), pemeliharaan (sthiti), dan peleburan (pralina). "Seperti
layaknya manusia yang lahir, hidup, dan kemudian mati. Gempa merupakan
fenomena alam yang natural," katanya.
Sutarya
sendiri tidak menampik banyaknya tafsiran mengenai gempa, terutama jika
terjadi pada waktu-waktu tertentu. Kejadian gempa bisa ditafsirkan
berdampak buruk maupun berdampak baik bagi kehidupan. "Seperti misalnya
gempa di Sasih Kasanga, dimaknai bahwa masyarakat akan melawan
pemerintahan, negara tidak menentu. Yang sebenarnya akan terjadi
tergantung cara kita melihat sebuah fenomena. Jadi, menurut saya, gempa
ini sebaiknya dimaknai dari sisi positif," pinta Sutarya.
Dimaknai
positif, artinya masyarakat hendaknya mengarahkan pemikiran untuk
mengubah diri menjadi lebih baik. "Jika ada gempa, harus arahkan pikiran
pada hal positif. Jika ramalannya bahwa masyarakat akan menentang
pemerintahan, maka perbaiki diri untuk jadi lebih baik, sehingga ramalan
itu tidak menjadi benar," jelasnya.
Ditambahkan
Sutarya, berbagai tafsiran tentang gempa belum tentu terjamin
kebenarannya. Namun, secara esensi, proses uttpeti, sthiti, dan pralina
itu terus terjadi di bumi ini. "Bahkan, jika suatu saat bumi ini lebur,
itu hal yang bersifat alamiah. Selanjutnya pasti akan ada proses
penciptaan," jelasnya. Meski demikian, Sutarya tetap mengajak masyarakat
untuk senantiasa waspada. Tak hanya pada saat gempa, tapi juga setiap
saat dalam kehidupan ini.
sumber : NusaBali