![]() |
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda |
Ketika kita berbicara masalah kemerdekaan, dari sisi istilah saja, kata merdeka itu berasal dari bahasa Sansekerta yakni ‘Mahardika’.
Apa yang dimaksud dari itu adalah manusia kembali kepada hakikat kehidupan, yakni Sang Hyang Atman sebagai kendali dari semua kehidupan manusia.
Tapi kenyataannya kita saat ini tidak merdeka. Kenapa?
Karena memang, hasrat manusia itu pasti ingin menguasai orang lain.
Satu suku menguasai suku yang lain, satu etnis menguasai etnis yang lain. Belum lagi penguasaan-peguasaan di era global saat ini, yang boleh kita katakan ‘sangat ekstrim’.
Itu berupa penjajahan ekonomi, politik, dan bahkan agama. Agama, sebagai salah satu panduan manusia dalam memerdekakan dirinya, justru menjadi alat untuk menjajah orang lain.
Mengapa bisa terjadi penjajahan agama, karena agama tidak dijalankan secara aspek teologi murninya, bahwa dia bukan membangun masyarakat yang sejahtera secara meterial, tetapi bahagia secara batin atau rohani.
Bahkan belakangan ini telah terjadi konflik yang didasarkan mencari pembenaran dari ayat-ayat suci. Ini adalah bagian dari proses penjajahan.
Padahal di wilayah itu orang ingin mencari kemerdekaan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Oleh sebab itu, sekarang kita harus kembalikan, yang pertama, sebelum secara sama-sama menghapus penjajahan agama, terlebih dahulu kita sendiri harus membebaskan diri atau memerdekakan diri dari nafsu yang memang ditimbulkan oleh sifat serakah manusia.
Menurut ajaran Hindu, kemerdekaan yang utama adalah, kita terbebas dari Sadripu, Sapta Timira, dan Sad Atatayi.
Jika sudah mampu memerdekakan diri dari unsur ini, maka ideologi inilah yang akan menular ke kelompoknya untuk tidak ingin menjajah orang lain.
Karena minimnya pemahaman terhadap hal ini, maka tidak heran kita melihat, justru di wilayah orang seharusnya memerdekakan diri, justru di situ terjadi penjajahan. Mencatut ayat-ayat suci untuk pembenaran dirinya.
Bahkan wilayah itu dijadikan suatu macam komoditi atau barang dagangan untuk melegitimasi seseorang bahwa dia bersalah menurut agama ini atau itu. Jadi seperti antara Dewa dan Bhuta. Orang lain dibilang setan, hanya dia yang Tuhan.
Itu adalah bagian dari sebuah penjajahan. Ketika kita berbicara masalah itu, maka kita berada pada kondisi kutub dualisme, di mana yang satu selalu mendaulat dirinya sebagai hakim otoritatif untuk meniadakan lawannya.
Padahal yang paling mendasar adalah bagaimana dia sendiri menyadari arti dari sebuah kehidupan. Karena kehidupan itu artinya kemerdekaan.
Selama orang belum merasa hidup, maka sesungguhnya dia adalah orang yang belum mahardika. Maka orang yang belum mahardika, maka orang belum merasa hidup.
Apa hidup yang sesungguhnya? Yaitu selalu merasa aman dan damai. Kalau ada rasa ketakutan, dia itu sebenarnya masih dijajah. Yakni paling tidak dijajah oleh rasa takutnya.
Jadi, yang utama itu adalah merdeka dari rasa takut. Kan itu sekarang terjadi. Karena proteksi ketakutan yang begitu besar, bagaimana dia melindungi dirinya, akhirnya dia berbuat di luar kesetiakawanan sosial.
Akibatnya dia melakukan tindakan yang tidak terpuji. Menghalalkan segala cara, membenarkan segala tindakan dalam rangka menyelamatkan keberlangsungan dirinya. Kalau sudah seperti ini, maka dia akan menjadi paranoid.
Rasa kemerdekaan pada diri seseorang sesungguhnya, bukan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya dalam konteks liberalisme.
Tapi kebebasan yang kita peroleh adalah menjamin kebebasan orang lain.
Inilah yang paling penting dari konsep agama Hindu. Kalau hal ini bisa dijalankan, minimal kita merdeka secara personal, kemudian merdeka secara komunal.
sumber : tribun Bali